Rabu, 31 Agustus 2011

Fosil Hidup Berumur 200 Juta Tahun

Ahli biologi melaporkan sebuah spesies belut baru yang ditemukan dalam gua bawah laut sedalam 35 meter di tepi sebuah pulau di negara Palau, Pasifik Barat. Para ahli menyebutnya sebagai fosil hidup yang mirip dengan belut pertama yang berenang sekitar 200 juta tahun yang lalu.

Seperti dikutip dari Daily Telegraph, temuan itu dipublikasikan dalam jurnal Proceeding Royal Society B. Penemuan ini terjadi Maret tahun lalu oleh tim yang dipimpin oleh Masaki Miya dari Institut Sejarah Museum Alam di Chiba, Jepang.


http://media.vivanews.com/thumbs2/2011/08/20/120780_protoanguilla-palau_300_225.jpg

Spesies belut yang ditemukan berwujud ikan kecil berwarna cokelat yang berbeda dengan karakteristik anatomi belut modern. Sebaliknya, ia memiliki banyak keunggulan yang dimiliki belut primitif yang hidup di era awal Mesozoikum, saat dinosaurus menguasai bumi.

Kesamaannya di antaranya adalah ukuran kepala yang tidak proporsional, tubuh terkompresi menjadi pendek, kerah seperti bukaan pada insang, sinar pada sirip ekor dan ujung tulang rahang yang disebut premaxilla.

Temuan ini sendiri sangat luar biasa dan bahkan belut tersebut dimasukkan ke dalam satu spesies terpisah, yakni Protoanguilla Palau.

Ketika pertama dijumpai, menggunakan jaring tangan dan lampu, peneliti mengumpulkan 8 contoh belut yang memiliki panjang sekitar panjang 6-9 cm tersebut. Setelah itu, tes DNA dilakukan untuk menilai sejarah genetik belut.

Menurut penelitian, sampai saat ini, Palau merupakan satu-satunya tempat penemuan spesies tersebut. Meski demikian, peneliti memperkirakan, distribusi belut ini masih cukup luas.

Sebagai informasi, Charles Darwin menyebut dengan istilah fosil hidup untuk menggambarkan spesies yang masih selamat hingga saat ini, meski telah turun temurun selama jutaan tahun.

Kamis, 18 Agustus 2011

13 Katak Bertaring Ditemukan di Sulawesi

Ben Evans, pakar hewan dari McMaster University di Hamilton dan ilmuwan Indonesia menemukan 13 spesies katak bertaring di Sulawesi. Sejumlah 9 dari 13 spesies itu belum pernah ditemukan sebelumnya. Penemuan ini dilaporkan dalam jurnal The American Naturalist bulan ini.

 
Katak ini meletakkan telur di dedaunan dan bukan di air, lalu menungguinya. Jenis ini adalah salah satu dari 9 spesies katak yang belu dikenal dunia ilmu pengetahuan sebelumnya.

Katak bertaring termasuk dalam genus Limnocetes, disebut bertaring karena memiliki tonjolan tulang di rahang bawah. Taring yang dimaksud bukan berarti gigi taring yang sebenarnya, sebab tak memiliki akar gigi atau ciri-ciri gigi lainnya.

Dalam papernya, Evans menulis, seluruh spesies katak bertaring yang ditemukan memiliki variasi adaptasi yang berbeda, sesuai kondisi lingkungan dan iklim mikro masing-masing, mulai dari yang terbasah hingga terkering dan dengan beragam vegetasi yang ada.

Beberapa spesies punya kaki berselaput tebal untuk beradaptasi dengan arus sungai yang deras. Sementara yang lain berselaput tipis, sesuai dengan lingkungan darat. Yang unik, ada katak yang melakukan fertilisasi internal, meletakkan telurnya jauh dari air dan mengawasinya.

Katak bertaring dari genus Limnonectes, memiliki tonjolan tulang unik di rahangnya. Para peneliti tidak yakin apa kegunaannya, namun diduga untuk mempertahankan diri atau mencari makan.

"Penemuan ini menjadi contoh bagus bagaimana spesies pada akhirnya menggunakan taktik yang sama untuk survive dan melakukan diversifikasi ketika diberi kesempatan," kata Evans seperti dikutip CBCnews, Jumat (12/8/2011).

Evans mengatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian, tak ada genus katak lain di Sulawesi yang bisa berkompetisi dengan genus katak bertaring. Ini menjadi bukti bahwa katak bertaring berevolusi untuk mengisi kekosongan relung kehidupan yang ada di Sulawesi.

Sampai saat ini, ilmuwan belum mengetahui manfaat taring pada katak genus ini. Beberapa kemungkinan adalah sebagai senjata melawan pejantan lain untuk mempertahankan wilayah, menangkap mangsa seperti ikan dan serangga serta sebagai senjata melawan predator.

Untuk menemukan katak ini, Evans dan timnya harus melakukan ekspedisi di sepanjang sungai dan hutan dengan resiko gigitan ular berbisa. Hasilnya, ada 683 ekor katak yang berhasil ditangkap. Peta distribusi katak lalu dibuat, sekaligus perbandingan ciri katak dengan lingkungannya.

 
Salah satu bentuk adaptasi hidup di aliran sungai yang deras adalah ukuran tubuh yang besar. Beberapa spesies katak bertaring tumbuh hingga sepanjang 13 cm.

Saat ekspedisi, Evans berusaha menangkap katak di hutan yang belum tersentuh illegal logging. Namun, ia mengatakan, "Ada banyak hutan dimana kami mengambil sampel yang kemudian hilang ketika kami mengunjunginya beberapa tahun kemudian."

Sejauh ini, Evans mengatakan belum ada dari spesies yang ditemukan punah. Tapi ia mempercayai, distribusi katak-katak tersebut telah berkurang. Perlu usaha pelestarian lingkungan untuk menjaga katak-katak ini tetap eksis.